DEFENISI KEMATIAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR

Menurut International Statistical Classification of Disease, Injuries, and Causes of Death, Edition X (ICD-X):
“ Kematian seorang perempuan yang terjadi selama kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa memperhatikan lama dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh atau dipicu oleh oleh kehamilannya, atau penanganan kehamilannya, tetapi bukan karena kecelakaan”

Kematian ibu dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Direct obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh komplikasi obstetri pada masa hamil, bersalin dan nifas, atau kematian yang disebabkan oleh suatu tindakan, atau berbagai hal yang terjadi akibat tindakan-tindakan tersebut yang dilakukan selama hamil, bersalin atau nifas. Di negara berkembang, sekitar 95% kematian ibu termasuk dalam kelompok ini.
2. Indirect obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang disebabkan oleh suatu penyakit, yang bukan komplikasi obstetri, yang berkembang atau bertambah berat akibat kehamilan atau persalinan.

Sedangkan yang dimaksud dengan lahir mati (fetal death) menurut ICD-X adalah:
”Kematian sebelum dilahirkannya atau dikeluarkannya hasil konsepsi secara lengkap dari ibunya, berapa pun usia kehamilannya; kematian ditandai dengan kenyataan bahwa setelah dipisahkan dari ibunya janin tidak bernafas ataupun menunjukkan tanda-tanda kehidupan lain seperti detak jantung, denyut tali pusat atau gerakan otot-otot sadar”.

ICD-X mendefinisikan beberapa periode berkaitan dengan kehamilan dan kelahirannya sebagai berikut:

1. Periode Perinatal adalah periode antara umur gestasi 22 minggu lengkap (154 hari- usia dimana berat lahir normalnya mencapai 500gram) sampai 7 hari setelah dilahirkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan kematian perinatal adalah kematian yang terjadi pada janin ketika usia kehamilan mencapai 22 minggu lengkap sampai pada saat 7 hari setelah dilahirkan.
2. Periode neonatal adalah periode mulai saat bayi dilahirkan sampai dengan usia 28 hari. Kematian neonatal (yaitu kematian yang terjadi pada saat bayi baru lahir sampai berumur 28 hari) dapat dibedakan menjadi kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini adalah kematian yang terjadi pada bayi dalam periode 7 hari setelah bayi dilahirkan, sedangkan kematian neonatal lanjut adalah kematian yang terjadi pada bayi berusia 8-28 hari.

Besaran Masalah Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir

Untuk menggambarkan besarnya masalh kematian ibu, Potts (1986) menganalogikannya dengan jatuhnya setiap 4 jam sekali sebuah pesawat jumbo jet berpenumpang 500 orang, yang seluruh penumpangnya adalah perempuan hamil, terutama berasal dari negara berkembang, lebih dari satu perempuan meninggal setiap menitnya akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, atau 529.000 kematian ibu pertahunnya, termasuk didalam nya 68.000 kematian akibat aborsi tidak aman (WHO, 2005). Saat ini jurang antara kematian ibu di negara miskin dan kaya masih besar, diperkirakan kematian maternal sebagian besar masih terjadi di negara-negara yang paling miskin seperti Asia dan Afrika. Perbandingan kematian ibu di negara miskin adalah 1: 16, sedangkan di negara maju 1: 2800.

Risiko Kematian Ibu di dunia Berdasarkan Wilayah

Wilayah Risiko Kematian Maternal
Afrika 1:16
Asia 1: 65
Amerika latin dan karibia 1:130
Eropa 1: 1400
Amerika utara 1: 3700
Risiko rata-rata di negara miskin 1: 48
Risiko rata-rata di negara kaya 1: 1800

Ada dua alasan utama yang menyebabkan upaya safe motherhood perlu menjadi prioritas. Pertama, besarnya masalah kesehatan ibu dan bayi baru lahir serta dampak yang diakibatkannya. Data menunjukkan bahwa seperempat dari perempuan usia reproduktif di negara berkembang mengalami kesakitan yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas. Setiap tahunnya komplikasi persalinan menyebabkan 585.000 kematian perempuan di dunia, 1,5 juta kematian bayi berusia satu minggu, dan 1,4 juta bayi lahir mati ( Tinker, 1997). Dampak sosial dan ekonomi kejadian ini dapat dipastikan sangat besar, baik bagi keluarga, masyarakat maupun angkatan kerja di suatu negara. Keberadaan seorang ibu merupakan tonggak utama untuk tercapainya keluarga yang sejahtera dan kematian seorang ibu merupakan suatu bencana bagi keluarganya.

Kedua, upaya Safe Motherhood pada hakekatnya merupakan intervensi yang efisien dan efektif dalam menurunkan kejadian kematian ibu. Untuk memberikan gambaran efisiensi upaya pencegahan, WHO mengungkapkan bahwa ternyata cukup dianggarkan biaya sebesar AS $ 2 per ibu untuk pelayanan kesehatan yang optimal selama hamil; walaupun tetap dibutuhkan biaya untuk penanganan komplikasi sebesar AS $ 230 per kasus (WHO, 1997). Sekitar 15% ibu akan mengalami komplikasi (Maine,1991), sehingga dalam anggaran untuk penanganan komplikasi diupayakan agar tetap dalam batas yang layak.

Proporsi kematian bayi baru lahir di dunia sangat tinggi dengan estimasi sebesar 4 juta kematian bayi baru lahir pertahun dan 1,4 juta kematian pada bayi baru lahir pad abulan pertama di Asia tenggara. Hanya sedikit negara di Asia Tenggara yang mempunyai sistem registrasi kelahiran yang baik sehingga tidak diperoleh data yang akurat tentang jumlah kematian bayi baru lahir atau pun kematian pada bulan pertama. Dalam Kenyataannya, penurunan angka kematian bayi baru lahir di setiap negara di Asia Tenggara masih sangat lambat (WHO, 2005)

Sedangkan kematian bayi baru lahir menurut perkiraan SDKI tahun 2002-2003 adalah 22/1000 kelahiran hidup. Walaupun kematian bayi turun tetapi kematian bayi baru lahir di Indonesia masih tetap tinggi dan hal ini erat kaitannya dengan kurang baiknya penanganan komplikasi obstetri saat persalinan dan masih rendahnya status kesehatan ibu. Hubungan antara kematian bayi baru lahir dan kondisi ibu terkait dengan ”fenomena 2/3” yang terjadi yaitu:
1. 2/3 kematian bayi terjadi pada masa neonatal
2. 2/3 kematian neonatal terjadi pada masa perinatal
3. 2/3 kematian perinatal terjadi pada hari pertama

Berbagai permasalahan masih dialami oleh Indonesia sehingga upaya penurunan AKI dan AKB sulit dilakukan. Permasalahan yang ada tersebut antara lain adalah :
1. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi menuntut adanya perubahan peran dan tanggung jawab di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab penuh untuk merencanakan dan melaksanakan pelayanan kesehatan di daerahnya.
2. Kesenjangan dalam penyediaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Selain jumlah fasilitas yang tersedia masih terbatas, kualitas juga dinilai masih rendah.
3. Kesenjangan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang tidak merata sangat erat hubungannya dengan kemiskinan, pendidikan wanita, faktor geografis dan pembangunan sosial.
4. Kesenjangan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Pelayanan di fasilitas kesehatan diberikan dengan cara pembayaran tunai, kecuali pelayanan bagi keluarga miskin di fasilitas kesehatan pemerintah. Pelayanan komplikasi yang tepat waktu dan adekuat sangat kritis untuk kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir namun memerlukan biaya mahal. Keterbatasan dana merupakan masalah utama program kesehatan kabupaten.
5. kesenjangan dalam komitmen politik dan kebijakan terhadap kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Walaupun menurut hukum wanita berhak memperoleh pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, namun di berbagai daerah pelayanan yang aman tidak tersedia secara adekuat. Hal ini disebabkan antara lain : kurangnya nakes terlatih yang memiliki motivasi kesehatan, persyaratan peraturan yang kompleks, atau kurangnya sumber dana.
6. Kesenjangan dalam kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan mitra kerja seperti kerjasama antar departemen, dengan sektor swasta, LSM dan organisasi profesi serta lembaga donor. Kurangnya koordinasi di lapangan menciptakan tumpang tindih yang tidak dapat dihindari, pengawasan yang tidak efektif, kegiatan yang terkotak-kotak, penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan kesulitan dalam memanfaatkan hasil kajian untuk perbaikan program dan perluasan intervensi.

Perkembangan Upaya Global Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir


Upaya Safe Motherhood dirintis untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI di negara maju dengan angka tersebut dinegara berkembang. Upaya Safe Motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan perempuan agar kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan sehat dan aman, serta menghasilkan bayi yang sehat. Tujuan upaya Safe Motherhood adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu hamil, bersalin, nifas, disamping menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir. Upaya ini terutama ditujukan kepada negara yang sedang berkembang, karena 99% kematian ibu di dunia terjadi di negara-negara tersebut.

Di Indonesia, upaya Safe Motherhood diterjemahkan sebagai Upaya Kesejahteraan/Keselamatan Ibu. Istilah ”Kesejahteraan Ibu” menunjukkan ruang lingkup yang lebih luas, meliputi hal-hal diluar kesehatan, sedangan ”Keselamatan Ibu” mempunyai konotasi yang terkait langsung dengna aspek kesehatan. Dibandingkan dengan angka kematian bayi (selanjutnya disingkat AKB), perbedaan AKI ternyata jauh lebih besar. Hasil penelitian WHO dan UNFPA menunjukkan tingginya AKI di berbagai negara berkembang, serta lebarnya jurang antara keadaan di negara berkembang dan keadaan di negara maju.

Hasil-hasil penelitian semacam ini kemudian dibicarakan pada Inter Regional Meeting on the Prevention of Maternal Mortality di WHO Geneva pada bulan November 1985. pertemuan ini kemudian menjadi dasar dari gerakan dunia untuk menyelamatkan ibu dari kesakitan dan kematian, yang kemudian dicanangkan dalam Konferensi Internasional Safe Motherhood (International Conference on Safe Motherhood) di Nairobi, Kenya, pada bulan Oktober tahun 1987 atas kerjasama Bank Dunia, UNFPA, WHO dan UNDP. Konferensi ini merupakan forum pertama yang secara khusus membahas masalah kematian ibu karena kehamilan dna persalinan. Dalam konferensi tersebut diungkapkan terjadinya 585.000 kematian ibu di dunia setiap tahunnya. Sekitar 99% kematian ibu tersebut terjadi di negara-negara berkembang. Kenyataan ini membuka mata dunia bahwa telah terjadi ketimpangan yang besar antara masalah kesehatan perempuan di negara maju dan di negara berkembang. Mulai saat itu, dicanangkanlah upaya Safe Motherhood sebagai upaya global untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan pada perempuan dan bayi baru lahir, khususnya di negara berkembang.

Konferensi kedua yang menjadi tonggak upaya Safe Motherhood adalah World Summit for Children tahun 1990. Dalam pertemuan pertemuan tersebut satu dari tujuh deklarasi adalah menurunkan AKI menjadi setengahnya pada tahun 1990-2000. untuk mencapai hal ini kemudian dibentuk jaringan global guna meningkatkan kesadaran, prioritas masalah, mobilisasi penelitian, bantuan teknis dan informasi tentang masalah kematian ibu. Hal ini berarti setiap negara dari 166 negara yang menandatangani deklarasi tersebut telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan AKI di negara masing-masing sebesar 50%.

Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi tersebut juga telah bertekad untuk menurunkan angka kematian ibu dari 450 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2000.

Konferensi berikut yang juga menentukan adalah Intenational Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo pada bulan September tahun 1994. Konsensus umum yang disepakati adalah perubahan paradigma dari kontrol penduduk menjadi pemenuhan hak-hak reproduksi manusia. Hal tersebut lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas hidup manusia yang hanya dapat dicapai melalui partisipasi penuh dari kaum perempuan di segala bidang. Dengan demikian pemberdayaan perempuan (women empowerment), pemenuhan hak reproduksi klien menjadi pusat perhatian. Peserta Konferensi menganggap bahwa ICPD pada taun 1994 merupakan awal pengakuan global tentang kemitraan pria-perempuan (equity) dan pemberdayaan perempuan sebagai dasar dalam merencanakan program kesehatan dan kependudukan yang efektif. Perubahan ke arah analisis gender ini didukung dan disebarkan secara luas oleh WHO.

Selanjutnya Konferensi Dunia ke IV tentang Perempuan di Beijing pada tanggal 15 Oktober 1995 memberikan penekanan yang berbeda pada masalah gender dibandingkan dengan pemikiran di Nairobi yang lebih sempit. Dalam Konferensi di Beijing ini penekanan lebih “terpusat pada perempuan”.

Pada bulan Oktober tahun 1997 di Colombo, Sri Lanka, diselenggarakan Safe Motherhood Technical Consultation, yang merupakan peringatan 10 tahun upaya global dalam Safe Motherhood yang dicanangkan di Nairobi. Dalam pertemuan yang diikuti oleh wakil dari 65 negara tersebut diakui bahwa telah banyak yang dilakukan dalam 10 tahun, namun masih tetap banyak yang perlu dilakukan.

Dalam pertemuan tersebut disampaikan 10 pesan aksi untuk dapat dilaksanakan di setiap Negara, yaitu :
1. Kembangkan Safe Motherhood melalui Hak Azasi Manusia,
2. Memberdayakan Perempuan,
3. Memberikan Kesempatan Memilih,
4. Safe Motherhood : Inventasi Sosial dan Ekonomi yang Vital,
5. Tunda Perkawinan dan Kehamilan Pertama,
6. Setiap Kehamilan Menghadapi Risiko,
7. Pastikan Persalinan Ditolong oleh Tenaga Terdidik/Terampil,
8. Tingkatkan Akses terhadap Pelayanan Kesehatan Ibu yang Berkualitas,
9. Cegah Kehamilan yang Tak Diinginkan dan Atasi Aborsi yang Tak Aman,
10. Ukur Kemajuan Program Safe Motherhood Kekuatan dalam Kemitraan untuk Safe Motherhood.

Peringatan ulang tahun ke-10 upaya Safe Motherhood ini kemudian dilanjutkan oleh WHO dengan memakai tema tersebut untuk memperingati Hari Kesehatan Sedunia pada bulan April tahun 1998. walaupun berbagai upaya mendapat berbagai dukungan namun pada kenyataannya upaya penurunan AKI belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Selanjutnya untuk mempercepat penurunan angka kesakitan dan kematian ibu, perinatal dan enonatal, WHO meluncurkan inisiatif Making Pregnancy Safer (MPS) pada tahun 1999 yang didasari pada penekanan pentingnya kemitraan menurunkan AKI. MPS menjadi komponen penting upaya safe montherhood di tingkat global.

Inisiatif ini juga menjadi bahan resolusi pada Pertemuan Regional Asia Tenggara di New Delhi pada September tahun 2000. diperkirakan Asia Tenggara menyumbang sekitar 40% dari angka kematian ibu di dunia yang terjadi sekitar 500.000 setiap tahun dan hal itu terjadi pada negara-negara berkembang di Asia Tenggara. Pada pertemuan tersebut, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia menyatakan keprihatinan dan ikut mengadopsi resolusi untuk menurunkan kesakitan dan kematian ibu. MPS menjadi dokumen pedoman bagi negara-negara yang mengadopsinya agar safe motherhood menjadi prioritas di dalam kebijakan dan anggaran nasional. MPS juga menjadi strategi penurunan kematian ibu dan anak dengan penekanan pada pentingnya kemitraan antara sektor pemerintah, badan donor, sektor swasta, keluarga, dan anggota masyarakat.

Konsep-konsep dasar
A. Determinan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir
Mc.Carti dan Maine (1992) dalam kerangka konsepnya mengemukakan peran determinan kematian ibu sebagai keadaan atau hal yang melatarbelakangi dan menjadi penyebab langsung serta tidak langsung dari kematian ibu. Determinan kematian ibu itu dikelompokkan dalam : Determinan Proksi atau dekat (proximate determinant), determinan antara (intermediate determinants) dan determinan kontekstual (contekstual determinants)

1. Determinan proksi/dekat, yang meliputi:
Kejadian kehamilan
Perempuan yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi, sedangkan perempuan yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut. Dengan demikian program keluarga berencana dapat secara tidak langsung mengurangi risiko kematian ibu. Efek KB terhadap penurunan AKI berkaitan dengan TFR. Bila TFR tinggi maka penurunan kematian ibu akan sangat dipengaruhi oleh keikitsertaan KB. Sebaliknya bila TFR cukup rendah, maka pelayanan KB tidak lagi berpengaruh terhadap penurunan AKI. Namun demikian beberapa penelitian telah membuktikan bahwa angka total kesuburan (Total Fertility Rate/TFR) ternyata tidak selalu memberikan dampak yang berarti pada penurunan AKI karena kematian ibu berkaitan pula dengan faktor-faktor lain seperti kualitas pelayanan kesehatan.

Komplikasi kehamilan dan persalinan
Komplikasi obstetri ini merupakan penyebab langsung kematian ibu, yaitu perdarahan, infeksi, eklampsi, partus lama, abortus dan rupture uteri. Intervensi yang ditujukan untuk mengatasi komplikasi obstetri tersebut merupakan intervensi jangka pendek; yang hasilnya akan dapat segera terlihat dalam bentuk penurunan AKI. Namun, intervensi hanya pada penyebab langsung saja tidak akan menyelesaikan masalah kematian ibu secara tuntas dan berkesinambungan. Dalam jangka panjang, upaya penurunan AKI harus memperhatikan dan dilengkapi dengan intervensi antara determinan antara dan kontekstual.

2. Determinan antara, yang meliputi:

Status Kesehatan
Faktor-faktor status kesehatan ibu antara lain status gizi, penyakit infeksi atau parasit, penyakit menahun seperti TBC, penyakit jantung, ginjal dan riwayat komplikasi obstetri.
Siklus reproduksi kehamilan dan menyusui yang berulang-ulang pada seorang ibu dapat menyebabkan suatu masalah kekurangan gizi pada ibu yang disebut “ Maternal Depletion Syndrome”. Kurang gizi yang dialami bisa berupa kekurangan zat gizi makro seperti kurang energi protein (KEP) ataupun zat gizi mikro seperti anemia, beri-beri, gondok dll.

Status Reproduksi
Faktor-faktor status reproduksi antara lain usia ibu hamil ( usia dibawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisikountuk hamil dan melahirkan), jumlah kelahiran (semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami oleh seorang ibu semakin tinggi risikonya untuk mengalami komplikasi), jarak antara kehamilan, status perkawinan (perempuan dengan status tidak menikah cenderung kurang memperhatikan kesehatan diri dan janinnya selama kehamilan dengan tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, yang akan menyebabkan tidak terdeteksinya kelainan yang dapat mengakibatkan komplikasi).

Akses terhadap pelayanan kesehatan
Dalam membahas mengenai akse pelayanan, ada dua aspek utama, yaitu ketersediaan dan keterjangkauan. Ketersediaan adalah tersedianya fasilitas pelayanan kesehatandengan jumlah dan kualitas yang memadai. Keterjangkauan pelayanan kesehatan mencakup jarak, waktu dan biaya. Tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis/sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan. Walaupun ketersediaan pelayanan kesehatan sudah memadai, namun penggunaannya tergantung dari aksesibilitas masyarakat terhadap informasi.

Perilaku sehat
Hal ini antara lain meliputi penggunaan alat-alat kontrasepsi ( ibu ber KB akan lebih jarang melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak berKB), pemeriksaan kehamilan (ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur akan terdeteksi masalah kesehatan dan komplikasinya), penolong persalinan (ibu yang ditolong oleh dukun berisiko lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan dengan ibu yang melahirkan oleh tenaga kesehatan), perilaku menggugurkan kandungan (ibu yang berusaha menggugurkan kandungannya berisiko lebih besar untuk mengalami komplikasi).

Faktor-faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga
Disamping hal-hal diatas, terdapat keadaan yang mungkin terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi selam hamil atau melahirkan. Beberapa keadaan tersebut terjadi pada saat melhirkan, misalnya kontraksi uterus yang tidak adekuat, ketuban pecah dini, dan persalinan kasep.

3. Determinan Kontekstual/jauh (determinan sosial, ekonomi dan budaya)
Status perempuan dalam keluarga dan masyarakat
Faktor-faktor yang menentukan status perempuan antara lain tingkat pendidikan (Perempuan yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatn diri dan keluarganya), pekerjaan (ibu yang bekerja di sektor formal memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagai informasi kesehatan), keberdayaan perempuan (woman empowerment) yang memungkinkan perempuan lebih aktif dalam menentukan sikap dan lebih mandiri dalam memutuskan hal terbaik bagi dirinya, termasuk kesehatan atau kehamilannya. Semua variabel tersebut dapat menjadi faktor yang berpengaruh dalam mencegah kematian ibu.

Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu kata kunci dari keberhasilan upaya safe motherhood. Salah satu indikator dari pemberdayaan perempuan adalah tingkat pendidikan yang antara lain digambarkan dengan tingkat melek huruf (literacy rate). Angka melek huruf di beberapa negara adalah 40% di Afrika,57% di Asia, 83% di Amerika latin dan Karibia, dan 95% di Negara maju. Semakin rendah tingkat melek huruf suatu negara, yang dapat dipakai sebagi indikator ketidak berdayaan perempuan, biasanya semakin tinggi AKI.

Status keluarga dalam masyarakat
Jika variabel tersebut diatas lebih menekankan pada diri perempuan sebagai individu, maka variabel berikut ini merupakan variabel keluarga perempuan tersebut. Variabel tersebut antara lain penghasilan keluarga, kekayaan keluarga, tingkat pendidikan dan status pekerjaan anggota keluarga, juga dapat berpengaruh terhadap risiko mengalami kematian ibu.

Status Masyarakat
Variabel ini meliputi antara lain tingkat kesejahteraan, ketersediaan sumber daya (misalnya jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia), serta ketersediaan dan kemudahan transportasi. Status masyarakat umumnya terkait pula pada tingkat kemakmuran suatu negara serta besarnya perhatian perhatian pemerintah terhadap masalah kesehatan. Hal ini dapat dipantau melalui persentasi dari anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk sektor kesehatan.

Kemiskinan juga merupakan salah satu faktor penghambat dalam upaya penurunan AKI. Walaupun demikian terdapat beberapa negara sedang berkembang/berpenghasilan renadah yang sudah mampu menurunkan AKI dinegaranya seperti Sri Lanka dan Thailand, masing-masing berhasil menurunkan AKI menjadi 30 per 100.000 kelahiran hidup dan 50 per 100.000 kelahiran hidup. Sebagian negara berpenghasilan rendah lainnya masih sangat sulituntuk menurunkan AKI sampai pada tingkat yang sama dengan Sri Lanka dan Thailand.

4. Intervensi pokok menurunkan kematian ibu dan bayi baru lahir.
Sejak dilaksanaknnya konferensi internasional Safe Motherhood di Nairobi taun 1987, hampir setiap negara berkembang berusaha sekuat tenaga untuk menurunkan angka kematian ibu. Di negara yang mempunyai AKI tinggi, biasanya ditemukan banyak masalah, seperti kemiskinan, tingkat pendidikan dan status pendidikan yang rendah, sanitassi dan status gizi yang buruk, transportasi dan pelayanan kesehatan terbatas. Bila semua masalah tersebut dapat diatasi, maka Aki dapat dipastikan akan turun. Semuanya itu biasanya tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Namun demikian penurunan AKI masih mungkin dilakukan sebelum masala-masalah tersebut teratasi.Maine dkk mengidentifikasi “rantai penyebab” kematian ibu dan menghubungkannya dengan strategi intervensi yang dikelompokkan dalam tiga kategori sbb:

a. Mencegah/memperkecil kemungkinan perempuan untuk menjadi hamil
Selama seorang perempuan tidak berada dalam kehamilan, ia tidak mempunyai risiko kematian ibu. Dengan demikian, menurunkan angka kesuburan perempuan merupakan cara yang efektif untuk mencegah kemungkinan menjadi hamil sehingga menghilangkan risiko kematian akibat kehamilan/persalinan.

Keikutsertaan ber-KB berhubungan dengan “risiko kematian seumur hidup” (life time risk) seorang permpuan, yang merupakan fungsi dari dua aspek, yaitu: 1) kemungkinan selamat dalam menjalani setiap kehamilan, dan 2) jumlah lehamilan rata-rata yang dialami perempuan. Keikutsertaan ber Kbmencegah kematian ibu melalui aspek kedua tersebut.

Risiko perempuan untuk mengalami kehamilanpada suatu negara dapat diukur melalui angka fertilitas total ( Total fertility rate/TFR). TFR mencapai 5,8 di Afrika; 2,9 di Asia; 3,1 di Amerika Latin dan Karibia; dan hanya 1,6 di negara-negara maju. Terdapat hubungan tidak langsung antara TFR dan AKI, karena bila seorang ibu tidak mengalami kehamilan, maka ia bebas dari risiko untuk mengalami kesakitan dan kematian akibat kehamilan/persalinan. Melalui penggunaan alat kontrasepsi, kematian ibu sebanyak 22% di Jordania, 22% di Filipina, 39% di Kolombia, 44% di Jamaika, 28% di mesir, 15% di Kenya, dan 6% di Nigeria dapat dicegah.
b. Mencegah/Memperkecil kemungkinan perempuan hamil mengalami komplikasi dalam kehamilan/persalinan.

Analisi menunjukkan bahwa kebanyakan kejadian komplikasi obstetri tidak dapat di cegah atau diperkirakan sebelumnya, kecuali misalnya induksi abortus yang tidak aman. Disamping itu, telah lama diketahui bahwa kelopok perempuan tertentu mempunyai risiko yang lebih besar terhadap kematian dari pada kelompok perempuan lainnya. Misalnya, kejadian kematian terendah pada kelompok perempuan yang melahirkan pada usia 20-an. Asil penelitian di Matlab, Bangladesh, mengungkapkan keadaan yang sebenarnya secara keseluruhan. Tampak bahwa risiko kematian ibu terbesar pada kelompok umur di bawah 20 tahun dan di atas 30 tahun.

Kematian Ibu dan Fertilitas Menurut Umur di Matlab, Bangladesh, 1968-1970
Umur AKI Risiko relatif kematian ibu JUmlah Lahir Hidup Jumlah
Kematian Ibu
10-14 1770 3,9 509 9
15-19 740 1,6 3907 29
20-29 450 1,0 11.286 51
30-39 580 1,3 4667 27
40-49 670 1,5 447 3

Namun bila dilihat jumlah kematian ibu, gambarannya sangat berbeda. Kelompok umur 10-14 tahun yang mempunyai AKI dan risiko relatif tertinggi, memberikan kontribusi jumlah kematian ibu yang kecil (9) dibandingkan kelompok umur 20-29 tahun yang memberikan kontribusi kematian ibu terbesar (51). Paradoks nyata ini disebabkan oleh besarnya jumlah kelahiran pada kelompok umur tersebut dibandingkan kelompok umur lainnya. Jadi, walaupun risiko relatifnya rendah, kelompok perempuan pada usia 20 an mempunyai jumlah kematian ibu yang terbesar bila dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.

Risiko relatif sangat layak bila digunakan sebagai acuan dalam praktek klinis, guna menentukan pola konseling dan penanganan kasus perorangan. Sebaliknya, dalam pengelolaan program kesehatan masyarakat, jumlah kematian ibu yang terjadi di masyarakat merupakan indikator yang lebih relevan bila dibandingkan dengan risiko relatif. Skrining perempuan hamil untuk menentukan mereka yang berisiko tinggi akan mengabaikan perempuan yang dikategorikan sebagai berisiko rendah; sementara komplikasi dan kematian kebanyakan terjadi pada kelompok ini.

Komplikasi Obstetri meliputi:
- Perdarahan antepartum dan postpartum
- Persalinan macet/lama
- Infeksi/sepsis postpartum
- Komplikasi abortus
- Preeklamsi/ eklamsi
- Kehamilan ektopik
- Ruptura uteri

Penanganan dini kesakitan pada masa kehamilan pun tidak selalu efektif, seperti diilustrasikan oleh hasil penelitian di daerah pedesaan di Gambia. Para perempuan hamil mendapat pelayanan antenatal yang baik, sebagai bagian dari intervensi dalam penelitian tersebut. Skrining risiko dilakukan dua kali selama kehamilan, perempuan dikunjungai selama sebulan sekali dan semua jenis kesakitan diobati. Namun, fasilitas pelayanan obstetri yang mudah terjangkau tidak tersedia di wilayah tersebut. Ternyata angka kematian ibu setara dengan 2000 per 100.000 kelahiran hidup. Pada akhir proyek, para peneliti menyimpulkan bahwa faktor risiko tidak banyak berperan dalam menentukan perempuan yang paling berisiko terhadap kematian.
Namun asuhan antenatal berkualitas dan pertolongan perslainan yang aman tetep berperan penting dalam menghasilkan ibu dan bayi yang sehat pada akhir kehamilan; disamping perlunya persiapan terhadap keadaan darurat obstetri yang tidak terduga bagi setiap ibu hamil.

c. Mencegah/memperkecil kematian perempuan yang mengalami komplikasi dalam kehamilan/persalinan
Walaupun kebanyakan komplikasi obstetri tidak dapat dicegah dan diperkirakan sebelumnya, tidak berarti bahwa komplikasi tersebut tidak dapat ditangani. Mengingat bahwa setiap ibu hamil berisiko untuk mengalami komplikasi obstetri, maka mereka perlu mempunyai akses terhadap pelayanan kegawat-daruratan obstetri. Dengan penanganan yang ade kuat, hampir semua kematian ibu dapat dicegah.
Intervensi untuk mendekatkan pelayanan obstetri kepada setiap ibu hamil didasari oleh tiga premis, yaitu; a) bahwa sebagian ibu hamil akan mengalami komplikasi obstetri, b) sebagian besar dari kejadian komplikasi tersebut tidak dapat diperkirakan atau dicegah, dan c) perempuan yang mengalami komplikasi harus mendapatkan pelayanan obstetri agar diri dan janinnya dapat diselamatkan sekaligus tercegahnya kesakitan yang berkepanjangan.

Penyediaan pelayanan obstetri tidak berarti mendirikan fasilitas rumah sakit yang serba berkecukupan dan canggih. Pada umumnya rumah sakit yang telah ada tidak dapt memberikan pelayanan efektif dalam penanganan kegawat-daruratan obstetri, antara lain karena kurang atau tidak ada tenaga terampil, manajemen penatalaksanaan pertolongan yang buruk, kekurangan alat, obat dan bimbingan tekhnis.

5. Intervensi untuk mencegah kematian ibu
Intervensi untuk mencegah kematian ibu dilakukan terhadap ketiga jenis determinan. Intervensi yang memberi dampak relatif cepat terhadap penurunan AKI adalah intervensi terhadap pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan obstetri esensial. Peningkatan kemampuan penatalaksanaan komplikasi obstetri secara langsung mencegah kematian perempuan yang mengalami komplikasi sehiangga dengan cepat akan menurunkan angka kematian ibu.

Intervensi yang ditujukan kepada determinan antara akan memberikan efek pada jangka menengah, misalnya melalui peningkatan gizi serta pendidikan ibu. Peningkatan status gizi ibu memperkecil risiko ibu untuk meninggal jika mengalami komplikasi, sedangkan peningkatan pendidikan ibu akan mempertinggi kesadaran ibu dalam mengenali gejala/ tanda komplikasi secara dini dan mencari pertolongan profesional.
Intervensi yang diarahkan kepada determinan kontekstual akan memberikan efek pada jangka panjang, misalnya melalui kegiatan pemberdayaan kemitraan dan kemitraan laki-laki perempuan. Dengan demikian perempuan dapat mengambil keputusan terbaik secara lebih mandiri dalam merencanakan kahamilan danpersalinannya.

B. Empat Pilar Safe motherhood
WHO mengembangkan konsep “ Four Pillars of Safe motherhoof” untuk menggambarkan ruang lingkup upaya penyelamatan ibu dan bayi (WHO, Mother- Baby Package,1994) Empat pilar upaya safe motherhood tersebut adalah.

1, Keluarga Berencana
Konseling dan pelayanan keluarga berencana harus tersedia pada semua pasangan dan individu. Pelayanan keluarga berencana harus menyediakan informasi dan konseling yang lengkap dan juga pilihan metode kontrasepsi yang memadai, termasuk kontrasepsi emergensi, dan pelayanan ini harus merupakan bagian dari program kompherensif pelayanan kesehatan reproduksi. Program keluarga berencana memiliki peranan dalam menurunkan risiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan serta menjarangkan kehamilan.

2. Asuhan Antenatal
Dalam masa kehamilan, petugas kesehatan harus memberikan pendidikan pada ibu hamil tentang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam masa tersebut, membantuperempuan hamil serta keluarganya untuk persiapan kehamilan bayi, meningkatkan kesadaran mereka tentang kemungkinan adanya risiko tinggi atau terjadinya komplikasi dalam kehamilan/persalinan dan cara mengenali komplikasi tersebut secara dini. Petugas kesehatan diharapkan mampu mengidentifikasi dan melakukan penanganan risiko tinggi/komplikasi secara dini serta meningkatkan status kesehatan perempuan hamil.

3. Persalinan Bersih dan Aman
Dalam persalinan, pererempuan harus ditolong oleh tenaga kesehatan profesional yang memahami cara menolong persalianan yang bersih dan aman. Tenaga kesehatan juga harus mampu mengenali secara dini gejala dan tanda komplikasi persalinan serta mampu melakukan penatalaksanaan dasar terhadap gejala dan tanda tersebut. Selain itu, mereka juga harus siap untuk melakukan rujukan komplikasi persalinan yang tidak bisa diatasinya ke tingkat pelayanan yang lebih mampu.

4. Pelayanan obstetri esesial
Pelayanan obstetri esensial bagi ibu yang mengalami kehamilan risiko tinggi atau komplikasi diupayakan agar berada dalam jangkauan setiap ibu hamil. Pelayanan obstetri esensial meliputi kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi risiko tinggi dan komplikasi kehamilan dan persalinan.

Secara keseluruhan, keempat tonggak tersebut merupakan bagian dari pelayanan kesehatan primer. Dua diantaranya yaitu: Asuhan antnatal dan persalinan yang bersih dan aman merupakan bagian dari pelayanan kebidanan dasar. Sebagai dasar/ fondasi yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan upaya ini adalah pemberdayaan perempuan.

C. Asuhan Bayi Baru Lahir Esensial

Mosley and Chen (1983) mengembangkan proximate determinan framework yaitu suatu model kematian bayi dan balita yang disebabkan oleh berbagai faktor Proximate determinant (penyebab langsung)
Konsep tersebut dilandasi oleh beberapa landasan yaitu:
1. Dalam suatu kondisi optimal, lebih dari 97% bayi baru lahir bisa bertahan hidup dalam lima tahun pertama kehidupannya.
2. Penurunan angka ketahanan hidup hidup ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sosial, ekonomi, biologi dan lingkungan.
3. Determinan sosio ekonomi merupakan faktor yang mendasari penyebab langsung yang akan me,mpengaruhi risiko sakit tidaknya suatu bayi dan dampak dari proses penyakit tersebut.
4. Penyakit-penyakit tertentu dan kekurangan gizi dianggap sebagai indikator biologi dari faktor penyebab langsung tersebut.
5. Growth Faltering (gangguan pertumbuhan) dan kematian bayi adalah konsekuensi kumulatif dari berbagai proses penyakit.

Kunci dari model tersebut adalah identifikasi satu perangkat penyebab langsung dan/atau variabel perantara yang secara langsung mempengaruhi risiko kesakitan dan kematian bayi. Dalam model tersebut yang dianggap sebagai faktor penyebab langsung adalah:
1. Faktor Ibu : Umur, Paritas, jarak kehamilan
2. Kontaminasi Lingkungan : air, kulit, tanah, insektisida,dll
3. Kekurangan zat gizi : Kalori, protein, vitamin dan mineral
4. kecelakaan : trauma
5. Kontrol penyakit individu: Pencegahan dan pengobatan penyakit

D. Tiga jenis keterlambatan dalam rujukan
Bila pelayanan obstetri yang tepat guna/ memadai telah tersedia, belumlah menjadi jaminan pemanfaatannya. Masyarakat yang membutuhkan seringkali tidak dapat menjangkau akibat hambatan jarak, biaya dan budaya. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam pengenalan tanda bahaya dan pencarian pertolongan profesional seringkali belum memadai. Di banyak negara berkembang, masih sering ditemukan hambatan yang lainberupa ketidak berdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan, sementara peran suami dan mertua amat dominan.
Banyak faktor yang menyebabkan keterlambatan dalam rujukan, namun dapat dikategorikan dalam tiga jenis keterlambatan yaitu:

a. Keterlambatan dalam pengambilan keputusan untuk merujuk
Pengambilan keputusan untuk merujuk merupakan langkah pertama dalam menyelamatkan ibu yang mengalami komplikasi obstetri, Keterlambatan dalam mengambil keputusan di tingkat keluarga ini mungkin dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan ibu /keluarganya untuk mengenali tanda bahaya, ketidaktahuan kemanan mencari pertolongan, faktor budaya, keputusan tergantung kepada suami, ketakutan akan besarnya biaya yang perlu dibayar untuk transportasi dan perawatan di rumah sakit, serta ketidak percayaan akan kualitas pelayanan kesehatan.

b. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan
Bila keputusan untuk merujuk telah diambil, ibu akan menuju ke fasiltas pelayanan kedaruratan obstetri, keterlambatan dalam mencapai pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh jarak, ketersediaan dan efisiensi sarana transportasi serta biaya.

c. Keterlambatan dalam memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan
Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya jumlah dan keterampilan tenaga kesehatan, ketersediaan alat, obat, transfusi darah dan bahan habis pakai, manajemen serta kondisi fasilitas pelayanan.

SEJARAH DAN PENGALAMAN BERBAGAI NEGARA DALAM UPAYA PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR

A. Penurunan AKI di negara maju
1. Penurunan AKI melalui peningkatan peran bidan ( Abad 18 sampai dengan pertengahan abad 19)
London, seorang pelopor penurunan angka kematian ibu menuliskan upaya tersebut di negara maju pada masa itu sebagai : “lebih ditujukan kepada faktor-faktor yang berhubungan khusus dengan persalinan dibandingkan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan sebab lain”. London juga menyimpulkan bahwa penurunan angka kematian ibu (antara tahun 1750-1850) berhubungan dengan peningkatan jumla persalinan yang ditolong oleh bidan dan peningkatan standar kebidanan. Keberhasilan intervensi tersebut ternyata telah menempatkan negara-negara barat pada pertengahan abad ke-19 pada angka kematian ibu yang sama besarnya dengan median angka kematian ibu di negara miskin saat ini. Padahal, pada abad tersebut tindakan bedah sesar, transfusi darah, dan antibiotika belum tersedia dan persalinan masih lebih banyak dilakukan di rumah ibu.

2. Perbedaan pola penurunan angka kematian ibu (tahun 1870 sampai akhir tahun 1930-an)
Pada fase ini kecepatan dan waktu penurunan angka kematian ibu bervariasi dari satu negara kenegara lainnya. Umumnya terdapat tiga macam pola, yaitu penurunan angka kematian ibu dapat di lihat di swedia, Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 1850 angka kematian ibu pada ketiga negara maju ini berada dibawah 700 per 100.000 kelahiran hidup atau sama dengan median angka kematian ibu di negara miskin saat ini. Di Swedia, angka kematian ibu mengalami penurunan sejak awal tahun 1870 dan stabil pada tahun 1900-1940, yaitu 250-300 per 100.000 kelahiran hidup. Inggris memperlihatkan kecenderungan penurunan angka tersebut dan stabil pada akhir tahun 19301n, yaitu 400-450 per 100.000 kelahiran hidup. Di Amerika serikat, Aki sebesar 600-800 per 100.000 kelahiran hidup pada pertengahan tahun 1930an dan cenderung stabil. Dari gambaran di atas dapat di simpulkan bahwa Swedia merupakan contoh negara paling sukses dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Selain terjadi paling awal, penurunan angka kematian ibu juga telah dapat dicapai sebelum ditemukannya tekhnologi rumah sakit yang modern, seperti transfusi darah, tindakan bedah sesar dan antibiotika. Berikut adalah uraian lebih rinci tentang faktor-faktor sukses di Swedia dan faktor-faktor yang menyebabkan Inggris dan Amerika Serikat tertinggal dalam upaya penurunan angka kematian ibu pada tahun-tahun tersebut.

a. Swedia
Sampai pertengahan abad ke-18, Swedia merupakan negara miskin dengan penduduk tersebar di pedesaan. Pada awal tahun 1751, Komisi Kesehatan Swedia secara langsung memberikan perhatian terhadap pencegahan kematian ibu. Hal ini dilakukan setelah pengamatan bahwa sekurang kurangnya 400 dari 651 kasus kematian ibu per tahun dapat di selamatkan bila tersedia bidan dalam jumlah cukup untuk menolong persalinan. Para ahli kesehatan masyarakat mulai melatih bidan untuk memastikan bahwa semua persalinan di rumah dapat ditangani oleh tenaga kesehatan berkualitas. Pelatihan bidan ternyata berjalan sangat lambat. Keberhasilan akhirnya berjalan cepat setelah dikeluarkannya kebijakan politis untuk mengatasi kematian ibu.
Pada tahun 1861 jumlah persalinan yang ditolong bidan meningkat menjadi 40%, meningkat lagi menjadi 78% pada tahun 1900, dan di ikuti penurunan jumlah persalinan oleh dukun dari 60% pada tahun 1861 menjadi 18% pada tahun 1900. Pada masa itu mayoritas persalinan dilakukna di rumah. Ternyata bertambahnya cakupan persalinan yang ditolong oleh bidan, baik di rumah maupun di rumah sakit, langsung diikuti dengan penurunan angka kematian ibu. Mulai tahun 1829, para bidan terlatih mempraktekkan tekhnik persalinan modern, dan diizinkan untuk menggunakan forsep dan alat untuk kraniotomi. Kegiatan para bidan disupervisi oleh dokter kesehatn masyarakat setempat, yang dapat dipanggil jika bidan menghadapi kasus-kasus komplikasi yang serius. Dokter tersebut juga bertanggung jawab atas pelaporan hasil pelayanan. Pada akhir tahun 1870, terjadi penurunan angka kematian ibu secqrq drastis setelah ditemukan dan diterapkannya tekhnik asepsis. Pada tahun 1881, para bidan memanfaatkan tekhnik tersebut pada pertolongan persalinan di luar rumah sakit. Hal ini menjadikan Swedia sebagai negara dengan angka kematian ibu paling rendah di benua Eropa pada awal abad ke-20. Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Swedia ini di sebabkan oleh perubahan penolong persalinan ke arah profesionalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tekhnologi, di samping perubahan sosial yang diperkuat oleh kebijakan politik.

b. Jepang
Pengalaman keberhasilan Jepang hampir sama dengan Swedia. Penurunan angka kematian ibu berlangsung cepat dan stabil pada akhir tahun 1930an. Seperti halnya Swedia, keadaan tersebut terutama disebabkan oleh profesionalisasi pertolongan persalinan di rumah.

c. Amerika Serikat
Di Amerika serikat, kedua unsur yang mempunyai peranan penting dalam turunnya angka kematian ibu di Swedia tidak terjadi secara bersamaan. Pertama, perkembangan informasi baru tersedia sejak tahun 1900, lebih lam bat dari Swedia . Kedua, bidan, umumnya imigran dari benua Eropa, tidak dianggap penting karena besarnya pengaruh dokter ahli kebidanan. Pada masa itu tidak ada dorongan kebijakan yang efektif untuk menurunkan angka kematian ibu, sampai akhirnya masyarakat menyalahkan para ahli kebidanan karena tidak memperhatikan kematian ibu. Namun para ahli kebidanan masih tetap ingin memegang kendali dan menetapkan persalinan di rumah sakit sebagai prioritas dan kebijakan utama. Kebijakan tersebut ternyata tidak dapat menjamin akses persalinan yang berkualitas, bahkan menambah kematian akibat keteledoran pelayanan di rumah sakit (latrogenik). Dapat disimpulkan bahwa penurunan angkan kematian ibu di Amerika serikat pada masa itu mengalami Stagnasi.

d. Inggris
Situasi di Inggris dan Wales sedikit lebih baik dibandingkan dengan keadaan di Amerika Serikat. Informasi telah tersedia sejak pertengahan abad ke-19, tetapi baru pada akhir abad ke-20 “faktor primer yang dapat dicegah” dikenali dan secara diam-diam diselidiki. Tidak seperti Swedia, sebelum abad ke-20 Inggris tidak mengeluarkan kebijakan aktif untuk meningkatkan peranan dan profesionalisme bidan. Akibatnya, kemajuan yang dicapai dalam upaya penurunan angka kematian ibu berjalan sangat lambat. Loudon berpendapat bahwa, keterlambatan dalam memerangi angka kematian ibu d Inggris disebabkan oleh tiadanya kebijakan pemerintah yang mendukung. Selain itu, wewenang pengalokasian danan yang diperlukan untuk upaya penurunan angka kematian ibu diserahkan kepada pemerintah daerah, yang seringkali tidak memprioritaskan upaya penurunan angka kematian ibu. Faktor lain yang berpengaruh adalah lambatnya upaya pengembangan bidan karena persaingan keras antara dokter umum dan bidan dalam memperebutkan pasar.

3. Evolusi setelah tahun 1935: Informasi, Profesionalisasi dan Akses Era tekhnologi Modern (Tahun 1937-1970)
Pada tahun 1937-1970 angka kematian ibu menurun di hampir semua negara barat. Penurunan ini merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (penemuan antibiotika, tindakan bedah sesar dan transfusi darah) yang diterapkan dalam pertolongan persalinan, baik di rumah sakit maupun di rumah. Penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi makin berkembang di negara maju, karena didukung oleh budaya memelihara dan senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

4. Penurunan angka kematian ibu di negara berkembang
a. Negara – negara di Amerika Latin
Penuruna angka kematian ibu yang paling awal dan paling cepat di wilayah ini ternyata dicapai oleh negara yang mempunyai pelayanan kesehatan yang terorganisasi dengan baik dan terjangkau oleh masyarakat, misalnya ai Kuba. Masalah lain yang dihadapi negara-negara di Amerika Latin adalah keraguan terhadap keabsahan dan keakuratan data tentang kematian ibu yang dikumpulkan. Banyak negara berkembang di Amerika Latin menunjukkan gambaran penurunan angka kematian ibu yang sangat lamban dan berhenti pada AKI sebesar 100-200 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu yang tinggi dan menetap ini antara lain berhubungan dengan tidak meratanya akses terhadap pelayanan kesehatan, dan undang-undang yang membatasi segala macam bentuk pengguran kandungan (aborsi).

b. Negara – negara di Asia
1. Sri Lanka dan Thailand
Kedua Negara berkembang ini berhasil menurunkan nagka kematian ibu. Keberhasilan ini ternyata berhubungan dengan penerapan sistem pelayanan kesehatan pemerintah yang dinilai lengkap dan disediakan secara Cuma-Cuma kepada masyarakat yang memanfaatkannya. Hampir semua persalinan dilakukan fasilitas kesehatan.

2. Malaysia
Penurunan angka kematian ibu di Malaysia cukup pesat, yaitu dari 150 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 1970 menjadi 30 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 1995. Selain akibat pesatnya pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat, penurunan angka kematian ibu ini tercapai karena dukungan kebijakan dalam manajemen upaya Safe Motherhood dan berfungsinya fasiltas pelayanan kesehatan secara baik. Hal ini menghasilkan hubungan erat antara masyarakat dan pelayanan kesehatan pemerintah , yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang memanfaatkannya. Hampir semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan.

B. Penurunan Angka kematian Bayi Baru Lahir Thn 1995-2003
Di dunia diperkirakan setiap tahun hampir 3,3 juta bayi baru lahir mati dan lebih dari 4 juta lainnya mati dalm 28 hari pertama kehidupannya. Jumlah terbesar kematian bayi terjadi di wilayah Asia Tenggara (1.4 juta kematian bayi dan 1.3 juta lahir mati). Walaupun jumlah kematian tertinggi terjadi di Asia tapi angka kematian bayi dan angka lahir mati paling besar terjadi di Sub Sahara Afrika. Penyebab utama kematian bayi erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan pemeriksaan ibu yang diperoleh sebelum, selam dan segera setelah melahirkan. Asfiksia dan trauma saat lahir terjadi karena buruknya managemen persalinan dan kurangnya akses pada pelayanan obstetri. WHO memperkirakan bahwa dari tahun 1995 hingga tahun 2000 sebagian besar negara di Amerika, Asia Tenggara, Eropa, dan wilayah Barat Pasifik dapat menurunkan angka kematian bayi. Daerah mediterania Timur kurang dapat menurunkan angka kematian bayi dan sedangkan Afrika justru mengalami kenaikan angka kematian bayi. Pengalamandari negara-negara maju memperlihatkan bahwa penurunan kematian bayi ( terutama kematian baru lahir) tidak terjadi penurunan secara substansial dalam beberapa tahun apabila penurunan kematian pada bayi yang lebih besar (Post-neonatal) dan anak (Childhood) telah tercapai. Pada banyak negara, kematian bayi baru lahir mengalami penurunan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lebih tua atau anak.

Sebenarnya penurunan kematian bayi tidak hanya tergantung dari tingginya alokasi dana untuk tekhnologi canggih. Sebagai contoh Kolombia dan Sri Lanka dengan angka kematian bayi tidak lebih dari 15 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup. Nicaragua dan Vietnam, yang mempunyai angka kematian bayi 17 dan 15 per 1000 kelahiran hidup mengalokasi dana kesehatan sekitar US$45 dan US$20 per kapita pad atahun 1990.Sedangkan negara-negara di Eropa Utara dengan kordinasi yang lebih baik pada pelayanan antenatal, persalinan, pasca persalinan dapat menurunkan angka kematian bayi.

Pelajaran yang di petik dari berbagai upaya penurunan kematian Ibu dan Bayi baru Lahir:
a. Keberhasilan negara maju dalam menurunkan angka kematian ibu bukan merupakan hasil pekerjaan yang dilaksanakan dalam jangka waktu satu atau dua tahun saja, melainkan merupakan upaya yang membutuhkan waktu berpuluh tahun bahkan beberapa abad.
b. Komitmen Pemerintah dalam bentuk kebijakan nasional yang berlaku bagi masyarakat luas sangat membantu dalam memberikan perlindungan dan dukungan moral bagi upaya penurunan angka kematian ibu yang dilakukan oleh sektor kesehatan.
c. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan profesional terbukti secara drastis dapat menurunkan angka kematian di negara maju, seperti yang terjadi di negara swedia.
Kematian ibu karena kehamilan dan persalinan sangat erat kaitannya dengan penolong persalinan. Proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan adalah 39% di Afrika, 56% di Asia, 81% di Amerika Latin dan Karibia, dan 99% di negara-negara maju.
d. Pertolongan persalinan tidak selalu harus dilakukan di rumah sakit. Pertolongan persalinan di rumah pun dapat dilakukan, asalkan ditolong oleh tenaga kesehatan profesional.
e. Informasi yang absah dan akurat sangat penting dan dibutuhkan dalam perencanaan kegiatan dalam upaya menurunkan kematian ibu.
f. Negara berkembang mungkin menurunkan angka kematian ibu. Keberhasilan di Sri Lanka dan Thailand terutama disebabkan oleh penerapan sistem pelayanan kesehatan yang baik.
g. Pengembangan Iptek, pencarian terobosan baru dan penerapan iptek yang sesuai serta mengikuti kaidah kemanusiaan, senantiasa diperlukan untuk menunjang upaya penurunan angka kematian ibu.
h. Arogansi profesi membawa akibat buruk pada percepatan penurunan angka kematian ibu, seperti di Amerika Serikat pada abad lampau.
i. Pelayanan kesehatan,

Sumber
Modul AKI Depkes RI

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

1 Response to "DEFENISI KEMATIAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR"

  1. jangan sampai keberadaan bidan yang banyak melah meningkatkan AKI dan AKB

    ReplyDelete

Jual Soal Uji Kompetensi Bidan

Jual Soal Uji Kompetensi Bidan