Terbayang di benak luna bagaimana bila bayi yang sedang di tolongnya ini meninggal. Pasti berita ini akan menjadi berita besar, keluarga luna pasti akan sangat malu. Tiba-tiba muncul bayangan wajah ayah dan ibu serta kegigihan mereka menyekolahkan luna hingga sekarang. Perasaan itu berkelebat cepat di benaknya. Bibir luna tidak henti-hentinya membaca ayat-ayat suci, kali ini luna hanya mengandalkan Tuhan untuk menolongnya.
Keringat menetes dari pelipis luna. Wanita berwajah manis itu tidak pernah membayangkan kalau tanggung jawab seorang bidan sedemikian besar. Selama ini dia hanya mendengar tapi tidak pernah membayangkan mengalaminya secara langsung. Dalam hati luna membenarkan ucapan dosen-dosennya dulu yang terus menerus mengingatkannya bahwa hidup dan matinya ibu dan bayi itu berada di tangannya.
“Coba rina mengedan lagi sedikit saja....” perintah luna pada rina yang terlihat sangat kesakitan, keringat membanjiri seluruh tubuh ibu muda itu. Sebagian lagi mengipasi rina, bahkan ada wanita setengah baya yang tiba-tiba masuk bukan saja memercikkan air ke wajah rina tapi juga ke seluruh ruangan. Air untuk mengusir roh halus dari orang pintar desa seberang katanya. Luna tersenyum kaku...
“Nggak bisa....” jawab rina kepayahan.
“Coba rin, sedikit lagi....” pinta luna. Rina sudah tampak lelah. Matanya merah. Sedari tadi perempuan berkulit coklat itu sudah dipaksa untuk mengedan, meskipun belum waktunya. Pasti tenaganya sudah hampir habis.
“ Dorong lagi...”perintah mbah surti pada wanita di samping rina yang masih terpaku dengan situasi ini. Tangan mbah surti refleks juga ikut membantu mendorong perut rina.
“ Jangan mbah....nanti jalan lahirnya bisa koyak..!! teriak luna, tapi lagi-lagi mbah surti mengabaikan luna.
Luna menarik kepala bayi dengan sekuat tenaga. Dan akhirnya....bayi lahir.....
Badan bayi biru dan terlihat sangat lemah karena terlalu lama di jalan lahir, dia tidak menangis. Luna segera memotong tali pusat bayi dan memisahkannya dari ibunya. Luna meletakkan bayi di atas handuk kering dan segera menutup badannya. Diambilnya penghisap dee-lee, dimasukkannya selang ke hidung, untuk memudahkan bayi bernafas, lalu ke mulut...tapi bayi tetap tidak mau menangis. Bayi tampaknya asfiksia, dan tidak ada oksigen. Luna mengambil kasa yang steril dari pembungkusnya dan meletakkannya diatas mulut bayi sambil melakukan bantuan pernafasan dari mulut ke mulut secara perlahan. Bayi mulai merah, terdengar rengekan lemah bayi.
Sementara di luar terdengar riuh rendah suara orang yang sedari tadi menunggu proses persalinan. Masih terdengar berbagai ucapan syukur dan tawa bahagia. Mereka tidak tahu perasaan luna masih diliputi kecemasan, karena lahirnya bayi pada persalinan bukan berarti berakhir pula risiko kematian ibu. Masih ada plasenta yang harus dikeluarkan, dan risikonya jauh lebih besar. Masih sempat luna melihat ke arah rina, terlihat banyak darah menyembur dari jalan lahirnya. Jantung luna berdegup kencang. Tapi paling tidak tangisan kuat bayi membangkitkan semangat luna, segera ia mengikat tali pusat dengan benang yang sudah dipersiapkan. Luna bersyukur, satu masalah sudah terselesaikan. Bayi laki-laki yang beratnya sekitar 3 kilogram lebih telah lahir ke dunia, pertolongan persalinan pertama luna sepanjang hidupnya.
Mbah surti masuk dengan membawa seember air hangat. Bayi yang luna serahkan pada mertua rina di ambil mbah surti untuk dimandikan.
“Mbah, bayinya belum boleh dimandikan.....” tegas luna saat mbah surti mulai membuka kain penutup bayi.
“ Nanti nggak bersih bu bidan, bayi mau diazankan.....darah masih banyak di badannya” tanpa memperdulikan luna mbah surti meletakkan bayi di kedua lengannya.
“Menurut ilmu terbaru bayi tidak boleh dimandikan, lagipula bayinya kurang sehat mbah.....” luna mencoba menjelaskan.
“Dulu juga bayi yang saya tolong dimandikan dan sehat sampai sekarang...”
Luna tidak mampu mencegah mbah surti yang mulai memasukkan bayi ke dalam ember, apalagi tindakannya di dukung oleh semua orang, kecuali luna tentunya. Memang tidak ada gunanya berdebat dengan nenek tua ini, bathin luna kesal.
Perhatian luna kembali pada wanita yang sedang memperjuangkan hidupnya itu. Situasi panik tadi membuat luna lupa kalau harus menyuntikkan oksitosin di paha ibu. Segera diambilnya jarum suntik yang berisi oksitosin dan di suntikkannya di daerah 1/3 pangkal paha rina. Tidak terdengar lagi jeritan ibu muda itu, pandangannya tidak pernah lepas dari bayi laki-lakinya. Darah segar menyembur dari jalan lahir rina...
Luna masih ingat tanda-tanda lepasnya plasenta ditandai dengan adanya semburan darah. Ditariknya plasenta melalui klem yang terdapat pada tali pusat yang terhubung plasenta. Tapi masih tertahan...menunggu lebih baik dari pada menarik paksa plasenta yang bisa menyebabkan plasenta tidak keluar secara sempurna. Lalu terjadi pendarahan hebat dan dalam waktu singkat ibu akan menguap...dan meninggal, luna menepis fikiran negatif yang diciptakannya sendiri.
Melihat sikap luna yang menunggu, mbah surti tampak tidak sabar.
“tarik saja......” perintah mbah surti.
“Mbah ini masih 15 menit, masih ada waktu 15 menit lagi.....” jawab luna. Ia masih ingat konsep batas waktu mengeluarkan plasenta.
“Biasanya sudah bisa...” balas mbah surti lagi, suaranya sengaja dibuat lebih keras. Mungkin agar kata-katanya didengar orang disekitarnya.
“Coba bantu rina menyusui bayinya mbah.....,” Suara luna terdengar amat lembut. Baru kali ini luna memberikan perintah dengan suara lembut pada mbah surti yang tampak kaget. Luna mencoba bersikap lunak, sebagai junior dari segi usia tidak ada salahnya bersikap bersahabat. Kalau harus luna yang memulainya mengapa tidak. Demi kebaikan bersama. Hari ini mbah surti sudah sangat membantu, tinggal mengelolanya saja...dengan sedikit kelembutan pasti mbah surti akan bisa diajak bekerjasama.
“Tapi air susu ibunya belum keluar.....” jawab mbah surti. Luna ingat, bahwa salah satu tujuan disusuinya bayi secara dini adalah agar hormon oksitosin alamiah berfungsi, sehingga perut ibu kontraksi dan mempercepat lepasnya plasenta. Dan air susu ibu pasti sudah ada.
“Kita coba mbah....” luna masih bersikap lunak. Ternyata suara lembut lebih cepat memberi pengaruh dibandingkan suara yang keras. Mbah surti mengambil bayi dari pangkuan suami rina sehabis meng-azankan bayinya. Diletakkan mbah surti mulut mungil bayi di puting payudara rina. Bayi meronta...,
“Coba lagi mbah, saya yakin mbah bisa....” puji luna meski tidak murni dari dalam hatinya. Tapi luna bisa melihat sebuah senyuman kecil terukir di bibir mbah surti meski dia coba menyembunyikannya. Mbah surti sedemikin keras berusaha memasukkan mulut mungil bayi dan meletakkannya di atas perut ibu muda itu, dan ajaibnya bayi mulai menghisap puting payudara rina...
“Mbah hebat, rin coba lihat anakmu sudah bisa menyusu....” lagi-lagi pujian kosong luna pada mbah surti, tapi ucapan tulus luna ditujukan buat rina yang tampak tersenyum bahagia. Dalam hati luna merasa terharu sekaligus kasihan pada rina. Potret perempuan zaman sekarang yang memiliki status ekonomi keluarga di bawah rata-rata, rina tidak punya banyak pilihan hidup. Menikah adalah satu-satunya cara rina membantu orang tuanya lepas dari himpitan ekonomi. Bahkan rina hanya bisa mencicipi pendidikan dasar 6 tahun, selebihnya dia membanting tulang untuk menghidupi 6 orang lagi adiknya, meski kedua orang tuanya masih ada.
Luna memegang perut rina yang perlahan mulai mengeras, darah segar keluar dari jalan lahir rina. Luna melihat jam, sudah hampir 30 menit....
Luna menarik pelan tali pusat yang terhubung ke plasenta, dan tali pusatnya melunak mengikuti tarikan tangan luna, kelihatannya sudah lepas. Luna menarik plasenta perlahan dan di putarnya plasenta searah jarum jam saat plasenta sudah ada di depan jalan lahir. Luna meletakkannya di waskom dan meneliti kelengkapannya. Luna mengucapkan rasa syukur yang tiada tara, Tuhan memang tidak pernah mengabaikan umatnya yang sedang berusaha membantu sesamanya. Segera luna menyuntikkan ergometrin...Luna mengusap-usap perut wanita hebat itu untuk merangsang terjadinya kontraksi...
Luna membersihkan jalan lahir rina, darah segar keluar dari luka dan robekan yang menganga dan tidak beraturan lagi. Tiba-tiba menyembur darah segar...
bersambung
0 Response to "BU BIDAN (3)"
Post a Comment