Munculnya anggapan tersebut berdasarkan realita bahwa setiap proses kelahiran akan selalu diiringi dengan ari-ari. Terlebih lagi selama masa kehamilan ari-ari selalu mendampingi dan berfungsi sebagai alat respiratorik, metabolik, nutrisi, endokrin, penyimpanan, transportasi dan pengeluaran dari tubuh bayi. Anggapan masyarakat Indonesia tersebut kemudian menyebabkan munculnya berbagai kebiasaan dalam memperlakukan ari-ari (plasenta) yang memiliki variasi antara satu tempat dengan tempat lainnya (masyarakat satu dengan yang lain).
Masyarakat Bali memperlakukan ari-ari dengan melakukan upacara Garbha Homa. Konsep agama Hindu menegaskan bahwa ari-ari seharusnya dirawat, karena keberadaan ari-ari tersebut menyimbolkan bahwa bayi telah terikat janji. Dalam Manawa Dharma Sastra 11.27 tertulis tentang upacara Garbha Homa di dalamnya diceritakan bahwa bayi ketika di dalam kandungan di emban/gendong oleh Bhatara Çiwa yang merupakan pengejewantahan Tuhan yang melindungi semua ciptaanNya.
Pada masyarakat Batak memiliki kepercayaan bahwa ari-ari adalah saudara kembar bayi. Setelah keluar dari tubuh ibu maka ari-ari harus dimasukkan ke dalam bakul yang terbuat dari anyaman daun pandan atau ke dalam gerabah. Proses penanaman ari-ari tersebut tidak dilengkapi dengan berbagai macam barang atau benda-benda tertentu.
Sementara itu pada adat masyarakat Palembang, pada umumnya ari-ari dikubur/ ditanam setelah dibersihkan dan diberi aneka barang sebagai lambang pengharapan dari orangtua dari si bayi. Ada perbedaan perlakuan antara ari-ari dari bayi laki-laki dan perempuan. Ari-ari anak perempuan biasanya disertai dengan bumbu dapur. Sedangkan anak laki-laki biasanya dilengkapi dengan alat tulis. Harapannya adalah wanita pandai berperan di dapur dan laki-laki supaya pandai.
Kebiasaan lain juga di lakukan oleh masyarakat Bone Sulawesi Selatan. Mereka mempercayai bahwa ari-ari harus dikuburkan di bawah pohon kelapa dengan harapan bayi bisa tumbuh besar dan memiliki martabat tinggi sekaligus memberi banyak manfaat untuk masyarakat.
Sedangkan masyarakat Palembang lebih suka menanamnya di masjid dengan harapan agar si anak nantinya memiliki kebiasaan rajin datang ke masjid. Sementara itu di dalam ajaran Islam tidak ditemukan aturan baku (dalil) yang mengatur tentang hal ini secara eksplisit. Namun, Islam mensyaratkan untuk memperlakukan ari-ari bayi yang baru lahir dengan cara yang beradab. Sangat disarankan agar ari-ari tersebut tidak dibuang sembarangan namun dikuburkan dengan baik. Lokasi penguburannya pun dibebaskan asalkan di tempat yang baik dan tidak mengganggu kepentingan umum. Tempat/wadahnya bisa menggunakan gerabah/kendi ataupun wadah yang lain agar tidak berceceran kemana-mana.
Berbeda dengan berbagai kebudayaan masyarakat di atas, pada masyarakat Jawa memiliki kebiasaan tersendiri dalam memperlakukan ari-ari. Bagi masyarakat Jawa, proses perlakuan terhadap ari-ari bukanlah sekedar menguburkan benda itu saja. Akan tetapi terdapat tata cara khusus yang mengandung makna tertentu di balik kebiasaan itu. Kebiasaan penguburan ari-ari ini dikenal dengan upacara mendhem ari-ari. Mendhem ari-ari termasuk salah satu kebiasaan masyarakat Jawa dalam menyikapi salah satu siklus hidupnya, yaitu kelahiran. Di dalam salah satu proses siklus hidup, utamanya kelahiran, masyarakat Jawa memiliki berbagai macam ritual. Mulai dari upacara mitoni, mendhem ari-ari, brokohan, puputan atau dhautan, sepasaran, selapanan, dan sebagainya. Mendhem ari-ari, bagi masyarakat Jawa, adalah permasalahan serius karena ari-ari merupakan adik spiritual bayi yang akan selalu melindungi bayi dari penyakit yang datang dari bumi dan langit pada 35 hari pertama dan setelah itu akan melindungi ruh bayi tersebut (Geertz:59:1989)
Sumber dan lanjutan bisa dibaca di: PENGUBURAN ARI-ARI PADA MASYARAKAT JAWA baca juga: PENTINGNYA PLASENTA (ARI-ARI)
0 Response to "PENGUBURAN ARI-ARI/PLASENTA PADA BERBAGAI DAERAH"
Post a Comment