Mungkin tak banyak yang dapat membayangkan bahwa dalam penerbangan jarak jauh, seorang ibu hamil berisiko mengalami komplikasi persalinan yang mengancam keselamatan. Pada era modern, aktivitas bisnis dan tugas yang menyangkut hajat hidup orang banyak semakin kompleks, membuat penerbangan lintas negara tidak selalu dapat dihindari, meskipun untuk ibu yang sedang hamil. Pada¬hal, kondisi tersebut menyangkut masalah serius pelayanan emergensi, imunisasi, dan penyakit pandemik dalam kesehatan perjalanan.
Editorial Medika No. 6 Tahun ke XXXVIII, Juni 2012, membahas artikel “Travel Medicine on Pregnancy”, karya Gahrani dari Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta; dan John Wantania dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado.
The American College of Obstetrics and Gynecology menyarankan waktu bepergian paling aman adalah pada usia kehamilan 18 - 24 minggu, mengingat efek minimal oksigenasi janin yang menguntungkan. Penerbangan domestik mengizinkan ibu hamil 36 minggu, tetapi penerbangan internasional membatasi pada usia kehamilan 32-35 minggu sehingga memerlukan dokumen taksiran persalinan. Untuk waktu penerbangan yang kurang dari empat jam, ibu dengan kehamilan tunggal tanpa komplikasi diizinkan terbang pada minggu ke-36 sampai ke-38. Namun, ibu dengan kehamilan ganda tidak diizinkan terbang setelah masa gestasi lebih 32 minggu, karena tidak tersedia bidan dan pelayanan intensif pediatrik.
Banyak perusahaan menolak menerbangkan ibu hamil dengan masa gestasi di atas 36 minggu atau dengan riwayat persalinan prematur dan bekuan darah vena tungkai. Tampaknya, setiap perusahaan penerbangan mempunyai kebijakan tersendiri terhadap ibu hamil sehingga perlu ditanyakan, karena ada yang mensyaratkan pengisian formulir medis lengkap.
Ibu hamil yang sehat dapat bepergian dengan tetap memperhatikan upaya keselamatan umum.
Sebelum memutuskan untuk bepergian, seorang ibu hamil disarankan berkonsultasi dengan patugas kesehatan. Kerjasama ahli kesehatan perjalanan dan dokter kandungan akan memperbesar manfaat upaya pencegahan dan memperkecil risiko yang tidak diinginkan. Rencana hamil dan bepergian internasional perlu pertimbangan imunisasi pre-konsepsional untuk mencegah penyakit pada janin. Ibu hamil yang mengidap penyakit serius sebaiknya tidak berkunjung ke negara berkembang. Izin terbang ibu hamil juga perlu pertimbangan riwayat jumlah bayi dan usia kehamilan. Berbagai penyakit di negara berkembang seperti deman tifoid, malaria, dan tuberkulosis perlu dipertimbangkan.
Keputusan berpergian perlu mempertimbangkan sejumlah isu, seperti kepastian kehamilan intrauteri. Kehamilan ektopik harus diakhiri sebelum perjalanan. Asuransi kesehatan hendaknya mencakup pembiayaan di luar negeri dan fasilitas pelayanan kesehatan di tempat tujuan mampu menangani komplikasi persalinan yang mungkin terjadi. Sebelum bepergian, pertimbangkan skrining darah HIV, hepatitis B, dan kemungkinan Rh-negatif untuk pertimbangan profilaksis produk plasma anti-D immune globulin pada 28 minggu gestasi. Apabila bayi Rh positif, tindakan tersebut diulangi setelah melahirkan.
Ketinggian mempengaruhi tekanan dan volume gas yang terperangkap di rongga tubuh serta kesulitan penyesuaian tekanan telinga tengah dan rongga sinus akibat hiperplasia jaringan selama kehamilan. Pada kehamilan lanjut, ketinggian menyebabkan ekspansi gas intestinal yang diproduksi makanan sebelum penerbangan. Turbulasi udara yang tidak terduga meningkatkan risiko cedera yang dapat dicegah dengan penggunaan seat belt.
Pada penerbangan jauh, ibu hamil disarankan minum teratur, mengingat kelembaban udara kabin yang hanya sekitar delapan persen memperbesar risiko penguapan. Saran lain meliputi profilaktik, mobilisasi, latihan tungkai, dan penggunaan asam acetilsalisilat serta stoking kompresi pada trimester pertama. Gang antar tempat duduk memberi jarak terluas dan nyaman, sementara tempat duduk sepanjang sayap di tengah memberikan getaran paling halus.
Posisi statis yang tidak bergerak dalam waktu yang lama berisiko edema ekstrimitas, thrombophlebitis, serta trombosis vena dalam dan kehamilan memperbedar risiko tersebut akibat obstruksi vena kava oleh kompresi uterus.
Ibu hamil disarankan berjalan atau melakukan pleksi dan ekstensi tungkai dengan ikat pinggang pengaman yang selalu terpasang di pelviks untuk mencegah phlebitis. Ibu hamil juga perlu cukup minum, karena dehidrasi dapat menurunkan aliran darah ke plasenta dan hemokonsentrasi dapat meningkatkan risiko trombosis. Aklimisasi bertanggung jawab pada suplai oksigen janin sehingga semua ibu hamil sebaiknya menghindari ketinggian lebih dari 3,658 meter (12,000 feet) dan untuk kehamilan lanjut lebih tinggi dari 2,500 meter (8,200 feet).
Penderita anemia berat, penyakit sickle-cell, atau ancaman thrombophlebitis merupakan kantraindikasi relatif untuk terbang. Namun, ibu hamil dengan plasenta abnormal atau berisiko kehamilan prematur sebaiknya menghindari penerbangan. Meskipun bukti empiris belum jelas, keamanan pajanan radiasi untuk ibu hamil di bandara ternyata sangat minim, sehingga disarankan ibu hamil minta izin untuk tidak terpajan radiasi mesin sekuriti bandara.
Banyak sekali yang perlu diketahui oleh para ibu hamil yang merencakan penerbangan yang tidak selalu dapat ditunda atau dihindari, tetapi tidak banyak informasi kompeten yang dapat disampaikan.
Sumber
Edisi No 06 Vol XXXVIII - 2012 – Editorial
tersedia di http://www.jurnalmedika.com
0 Response to "SARAN UNTUK IBU HAMIL TERBANG DENGAN PESAWAT"
Post a Comment